Senin, 11 Juli 2011

SHALAT KITA BUTUH


RENUNGAN AKAN SHALAT DARI HATI YANG JUJUR DAN LOGIKA

Shalat itu tidak akan menambah Kemuliaan dan Kesempurnaan Allah SWT, sebab tanpanya pun Allah SWT telah Mulia dan Maha Sempurna dengan Sendiri-Nya serta selamanya tiada awal dan akhir atas-Nya....


Shalat itu adalah Ibadah yang wajib bagi kita dan baik pula bagi kita..(sesungguhnya)
Dimana letak wajib-Nya..?? Sebagaimana disebutkan dalam banyak Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW....
Penulis tidak merincinya dikesempatan ini, karena Penulis hanya umat yang masih banyak belajar....

Dimana letak baik dan butuhnya kita terhadap Shalat itu sendiri...??
Penulis coba berbagi renungan/ tafakur diri terhadap Shalat itu, kesimpulannya :

  1. Shalat itu baik bagi kita karena dengannya kita dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, yakni Sang Pencipta yang Maha Sempurna. Kita butuh akan Allah SWT sebab kita adalah hamba yang lemah, hamba yang selalu butuh bimbingan, pemeliharaan dan pertolongan dari-Nya. Sebgaimana binatang ternak terhadap tuannya, namun kita lebih mulia dari binatang, dan kita tuan yang tak akan mampu menciptakan ternak dan makanannya;
  2. Shalat itu baik dan kita membutuhkannya, karena Insya Allah dengan kita mngerjakannya dengan benar dan baik maka kita akan terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar. Renungkanlah sejenak, dengan Shalat yang lazim kita kerjakan saja, kita masih suka/ sering terjerumus pada fikiran dan perbuatan yang keji dan munkar...apa jadinya bila kita melalaikan shalat itu..?, celakalah kita karenanya;
  3. Shalat itu baik dan kita membutuhkannya, karena Insya Allah dengan kita mngerjakannya dengan benar dan baik maka jiwa dan raga kita akan tenang, damai, dan bahagia selalu serta selamanya. Sebab melaluinya kita akan punya kesempatan tuk makin dekat dan mengenal lebih baik akan Allah SWT, yang dampaknya akan membuat kita makin yakin akan kesempurnaan Allah SWT.
Demikian kesimpulan penulis akan arti Shalat bagi diri kita, semoga hal baik yang terdapat dalam penulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, namun apabila ada banyak kekeliruan dalam penulisannya ini, maka penulis mohon dibukakan maaf yang sebesar-besarnya atas keterbatasan dan keawaman penulis terhadap Ilmu Agama.

Saran dan koreksi penulis harapkan bagi pembelajaran diri dan kita semua. Terima kasih.

Kamis, 07 Juli 2011

Nikmat Tak Tertandingi

Sungguh perlu kita renungi & sadari bahwa kenikmatan Allah itu amatlah banyak & besar pada kita ditiap wktunya..

tidaklah dapat jika dibandingkan dengan kesulitan & kesempitan yang kita alami, karena Nikmat-NYA tersebut sangatlah banyak dan besar..

bahkan tidak pula dapat diimbangi dengan ibadah yang kita lakukan sepanjang usia kita..

karenanya tidaklah pantas lagi bagi kita tuk berkeluh kesah...

Justru sehrusnya kita dapat selalu tenang & bahagia.. karena kita

memiliki Allah SWT yg bersifat Maha Sempurna...

Mari kita pelajari dan yakini akan sifat2 Allah SWT yang amat smpurna itu..

IMAN itu YAKIN yang MUTLAK

Bukankah kita sepaham, bahwa …..

Bila kita mengaku mempercayai dan meyakini akan seseorang maka tentu kita telah mengenalnya dengan cukup baik, baik itu secara sifat, perkataan, maupun perbuatannya.

Tidaklah mungkin kita mengaku mempercayai dan meyakini akan seseorang sedangkan kita belum pernah mengenal sifat, perkataan, maupun perbuatannya.

Karenanya….

Pantaskah kita menyatakan percaya dan yakin akan Allah SWT dan Rasul-Nya ?, sedang kita belum pernah mengenal dan meyakini sifat (TAUHID / Rukun Iman), perkataan (Al QUR’AN dan HADIST), dan perbuatannya (JAGAT ALAM RAYA dan ISINYA).

Lalu....

Mungkinkah karena keengganan dan kelalaian kita untuk mengenal serta menyakini akan sifat, perkataan, dan perbuatan-Nya itu, sehingga membuat kita sampai saat ini masih berani serta gemar melalaikan dan mengingkari akan segala tuntunan dan ajaran-ajaran-Nya..??, Bahkan kita berani melakukan dan menempatkan diri ditengah-tengah kesesatan yang amat di murkai oleh Allah SWT sebagai sang Khaliq juga Pemilik dan Penguasa Jagat Alam Raya dan segala Isinya.....

Sungguh, khawatir dan takutlah kita akan murka-Nya Allah SWT...

Marilah kita cari dan dapatkan bersama Ridho-Nya Allah SWT, karena itu lebih bernilai dari apapun yang pernah dan akan ada di Alam Jagat Raya ini....

Contoh-contoh kelalaian yang kerap kita lakukan dalam keseharian, baik disadari maupun tanpa disadari :

  1. Yakin dengan bersembunyi-sembunyi dalam melakukan kesesatan dirinya akan selamat. Padahal diketahui olehnya, bahwa ada Allah SWT yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui;
  2. Berkeluh kesah akan nasib hidup yang dipandangnya amat tidak adil dan menyenangkan bagi dirinya, sedang ia mengetahui bahwa ada Allah SWT yang Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Berkehendak;
  3. Khawatir dan kurang puas akan rizqinya, padahal ia mengetahui bahwa ada Allah SWT yang Maha Adil dan Bijaksana;
  4. Khawatir dan Menunda-nunda pertobatan didalam kesesatan, padahal ia mengetahui bahwa ada Allah SWT yang Maha Pengampun lagi Maha Perkasa;
  5. Melakukan berbagai ibadah dengan pengetahuan seadanya tanpa ada keinginan dan usaha untuk mengetahui dan mempelajarinya lebih mendalam serta lebih baik lagi;
  6. dan yang lain-lainnya, yang diketahui oleh diri kita masing-masing.

Penyebab inti dari terjadinya contoh-contoh tersebut di atas disimpulkan, karena ternyata kebanyakan dari kita baru dapat mengetahui Allah SWT dan Rukun Ke-Iman-an lainnya hanya sebatas simbol ke Islam an kita saja, lalu kita lalai dan enggan tuk mengenal dan mengkaji lebih baik lagi mengenai pemahaman dan kandungan makna yang ada didalamnya. Sehingga hal tersebut tentulah membuahkan keyakinan yang salah dan rapuh akan Iman itu sendiri....

Lantas bagaimana dengan amal ibadah kita selama ini...??

Telah sesuaikah dengan tuntunan dan syarat-syaratnya...??

Yakinkah akan sampai kepada-Nya....??

Berapa besarkah peluang diterimanya amal ibadah kita ...??

Bukankah seluruh amal ibadah itu dilakukan dengan berbasis kepada Ke-Iman-an yang benar dan mantap....??

Wallahuallam...

Semoga dengan penulisan ini semua, memberikan kita inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mau membuka diri dan meringankan diri kita agar kita bersama mau mencari dan mengunjungi berbagai majlis-majlis ilmu yang akan memberikan kita pemahaman dan keyakinan yang benar akan Allah SWT, Rassul serta ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan yang disampaikannya.... Amin

Sahabat Sang Pelajar

Muhammad Luthfi Ali bin H. Ali Dimmung bin Guru Dimmung (Rohimun) bin Guru Na’im

Selasa, 05 Juli 2011

SOMBONG VS TAWADHU

Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al Qur’an dan As Sunah mencelanya dan

mengajak kita untuk meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini diancam tidak masuk ke

dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah memuji hamba-hamba-Nya yang rendah hati dan

tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala berfirman,

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi

dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang

baik.” (QS. Al Furqaan: 63)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Allah ta’ala juga berfirman,

تِلْكَ الدَّارُ الْآَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُ وا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا

“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk

menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)

Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang

menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang dia

miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Karena barang siapa yang menuntut

ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan membuatnya rendah hati dan menumbuhkan kehusyu’an hati

serta ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus memperhatikannya.

Bahkan di setiap saat dia selalu berintrospeksi diri dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia

pasti akan terlempar keluar dari jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk

berbangga-banggaan dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta

membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, sungguh ini tergolong kesombongan yang paling besar.

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil

dzarrah (anak semut), la haula wa la quwwata illa billah.” (lihat Al Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu ‘Utsaimin,

hal. 75-76 cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah. Sayangnya di dalam kitab ini saya menemukan kesalahan cetak,

seperti ketika menyebutkan ayat dalam surat An Nahl di atas, di sana tertulis An Nahl ayat 27 padahal

yang benar ayat 23. Wallahul muwaffiq)

Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala

seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih

sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.

Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah

hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali

bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha

untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah

kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah

keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri.

Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya

maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan

derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan

cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok,

dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada

seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala

melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,

هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَآْفُرُ

“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru

kufur.” (QS. An Naml: 40).”

Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian

dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti

kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga

menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai

bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang

menimpanya. Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَآْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَآْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ . آَلَّا

“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan

nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila

Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’

Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17)

Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezekinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya

serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan

tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku

menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)

Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu

Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah mendengar

Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang

lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan seluruh umat manusia dikumpulkan. Di

dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan kemuliaan derajat yang lebih di

antara manusia yang lain. Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena faktor

apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang

berujar kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang mati syahid, dan dia

juga tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’

Pada keesokan harinya, laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk

bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika dia selesai bercerita

maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi

orang tidur!” Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan

Umar memegang urusan pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu.

Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu menjawab, Bukankah anda telah menolak cerita saya dahulu?! Umar mengatakan, Tidakkah kamu

merasa malu menyebutkan keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu

dia sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu ‘anhu

tidak merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu

Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun

sebenarnya dia tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi inilah salah

satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal.

103-104)

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

DO'A MEMPERMUDAH REJEKI dan JODOH

Hamba Duniawi

Sabtu, 02 Juli 2011 12:11 WIB

Oleh : Agustiar Nur Akbar

Sebagai seorang muslim tentu kita tahu siapa Tuhan kita. Siapa yang menciptakan kita. Siapa yang pantas kita sembah. Dan juga mengatahui penghambaan kita untuk siapa. Serta kita ini adalah hamba siapa.

Namun tahukah engkau wahai saudaraku? Sesungguhnya secara sadar tidak sadar, kita telah menjadi hamba selain Allah SWT. Mau tidak mau kita sudah termasuk orang yang menuhankan tuhan selain Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Esa, Allah SWT. Yang kita tuhankan ini bisa juga disebut berhala modern. Sehingga kita seringkali terjerumus dan terjatuh dalam penghambaan kepadanya. Secara tidak sadar dan sadar, kita telah menyembahnya, menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada tuhan ini. Kita rela melakukan apapun demi tuhan yang tidak layak kita sembah ini.

Materi dan duniawi beserta segala macam isinya seperti popularitas, wibawa, jabatan, dan lain sebagainya. Itu semua adalah tuhan yang kita sembah selain Allah SWT. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah hamba-hamba dinar, dirham, dan kain beludru. Jika diberi ia rela dan jika tidak diberi ia tidak rela”. (H.R Bukhari).

Imam Shon’ani dalam Subulu as Salam syarah Bulughu al-Maram menjelaskan. Bahwasanya yang dimaksud dengan hamba dinar dan dirham adalah orang yang menghambakan dirinya kepada duniawi. Ketika ia mencari dunia seolah ia adalah hamba dari dunia itu dan dunia adalah sang raja-nya. Serta ia telah benar-benar tenggelam kepada syahwat duniawinya.

Beliau juga menambahkan. Bahawasanya yang tercela dari dunia adalah ketika seorang hamba telah menenggelamkan dan menyibukan dirinya untuk dunia. Sehingga ia melupakan kewajibannnya kepada Allah SWT. Dzat yang lebih berhak diutamakan dari apapun dan siapapun.

Marilah kita renungkan bersama akan hal ini wahai saudaraku! ‘abdullah artinya hamba Allah, menuhankan Allah SWT. Dari sini kita bisa juga maknai. Bahwasanya ‘abdu ad-dirham dan ‘abdu ad-dinar, hamba dirham dan hamba dinar. Orang yang menuhankan dirham serta dinar. Dimana dirham dan dinar adalah perlambang dari materi atau duniawi. Ini seperti yang diisyaratkan Imam Shon’ani. Namun ia tidak sampai jatuh pada hukum syirik.

Ketika kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi. Ketika kita tidak menghiraukan status harta itu. Apakah ia syubhat, haram, atau halal. Yang penting kita mendapatkannya. Bukankah itu sudah termasuk dari penghambaan kepada materi? Menyerahkan diri, melakukan apapun demi materi.
Ketika kita berusaha meraih popularitas, dan berusaha mempertahankannya mati-matian. Bahkan tak jarang menempuh jalan mistik yang tidak seharusnya. Dan juga membahayakan diri sendiri dengan konskuensinya. Bahkan tak jarang demi popularitas rela merendahkan diri dengan mengobral aurat misalnya. Atau memperdagangkan diri secara langsung dan tidak langsung. Bukankah itu berati kita sudah menghambakan diri kita untuk pupolaritas, duniawi? Serta mengalahkan Allah SWT Dzat Yang Maha Agung dengan segala aturannya yang sempurna?

Penulis adalah sahabat Republika Online yang tengah menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo

_____________________________________________________

Anda ingin BERSEDEKAH pengetahuan dan kebaikan? Mari berbagi hikmah dengan pembaca Republika Online. Kirim naskah Anda melalui hikmah@rol.republika.co.id. Rubrik ini adalah forum dari dan untuk sidang pembaca sekalian, tidak disediakan imbalan.

Redaktur: Siwi Tri Puji B

Sejarah Para Khalifah: Ibrahim I, Sultan yang Mencintai Rakyat

Senin, 27 Juni 2011 06:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Ibrahim I adalah Sultan Turki Utsmani dari 1640 hingga 1648. Dia menjadi sultan setelah saudaranya, Murad IV, tidak meninggalkan seorang pun anak laki-laki sebagai penerus tahta. Saat Sultan Murad IV meninggal, tidak seorang pun keturunan Ali Utsmani yang masih hidup, kecuali Ibrahim yang dipenjara selama pemerintahannya.

Tatkala saudaranya meninggal, para pembesar kerajaan segera mendatanginya ke penjara untuk memberitahukan kematian saudaranya, Sultan Murad IV. Tatkala mereka menemuinya, ia menyangka bahwa mereka datang untuk membunuhnya. Dia ketakutan dan tidak percaya dengan berita yang mereka bawa. Oleh sebab itu, ia tidak membukakan pintu penjara. Akhirnya para pembesar membongkar paksa pintu penjara dan menyatakan ucapan selamat kepadanya.

Ibrahim I masih mengira bahwa mereka sedang berusaha memperdayainya untuk mengorek isi hatinya. Maka dia pun menolak tawaran untuk berkuasa dan mengatakan lebih senang hidup sendirian di balik jeruji daripada menerima kerajaan dunia. Tatkala mereka tidak berdaya meyakinkannya, ibunya mendatanginya dengan membawa jenazah saudaranya.

Saat itulah dia duduk di tahta kesultanan dan memerintahkan agar jenazah saudaranya dikuburkan dengan prosesi yang megah. Di depan jenazah Sultan Murad IV, ada tiga kuda yang paling baik yang pernah ditungganginya saat berperang di Baghdad. Setelah itu, Ibrahim berangkat ke Masjid Jami' Abu Ayyub Al-Anshari dan di sanalah ia disandangi pedang, dan yang hadir membaiatnya sebagai khalifah.

Ketika naik ke singgasana dia berujar, "Ya Allah, perbaiki keadaan rakyat hamba selama pemerintahan hamba. Dan jadikanlah kami saling mencintai satu sama lain."

Kondisi dalam negeri relatif stabil setelah Sultan Murad IV, saudaranya, melakukan sejumlah perbaikan ke dalam, terutama terhadap militer. Maka Sultan Ibrahim memfokuskan diri pada perbaikan ekonomi dan menegakkan undang-undang perpajakan dengan asas-asas yang baru.

Pada masa pemerintahannya, Perdana Menteri Musthafa Pasya berhasil menghentikan campur tangan perempuan dalam masalah-masalah kesultanan dan berhasil menumpas para pembesar kerajaan yang melakukan perusakan.

Ada yang mengatakan, Khalifah Ibrahim I menderita penyakit mental, bahkan gila. Mungkin karena menderita kelabilan mental (neurasthenia), dan juga tertekan setelah kematian saudaranya.




Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Sejarah Para Khalifah: Sultan Musthafa III, Perang Panjang Melawan Rusia

Selasa, 05 Juli 2011 10:44 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Musthafa III lahir pada 28 Januari 1717 dan meninggal 221 Januari 1774. Ia adalah seorang penguasa yang bersemangat dan cerdik. Musthafa III mencoba memodernkan pasukan dan mesin pemerintahannya untuk membawa negerinya sederajat dengan Eropa.

Ia melindungi layanan jenderal asing untuk mengawali reformasi infanteri dan artileri militer. Sultan Musthafa III juga memerintahkan pendirian Akademi Matematika, Navigasi dan Sains.

Sayangnya, kekuasaan Utsmani telah merosot begitu dalam. Sadar akan lemahnya militer negaranya, Musthafa III menghindari perang dan tak sanggup mencegah aneksasi Krimea oleh Katarina II dari Rusia. Namun aksi ini, bersama dengan agresi Rusia lebih lanjut di Polandia, memaksa Musthafa III mendeklarasikan perang melawan Rusia sebelum kematiannya.

Musthafa III menjadi khalifah saat berumur 24 tahun, dan sangat paham tentang seluk-beluk pemerintahan. Dia mengangkat Menteri Qawjah Raghib sebagai perdana menteri karena dianggap memiliki wawasan yang luas dan pengalaman yang banyak dalam urusan negara. Raghib mampu memadamkan pemberontakan kalangan Arab Syam yang mengganggu kafilah-kafilah haji.

Dalam pandangan Sultan Musthafa III, bahaya yang sedang mengancam kesultanan adalah dengan munculnya kekuasaan Rusia baru. Tampaknya dia mengetahui rencana yang disusun Rusia yang berusaha mencabik-cabik pemerintahan Utsmani. Sebuah rencana yang diarsiteki Petrus Agung dalam sebuah wasiatnya yang terkenal.

Oleh sebab itu, Musthafa III mempersiapkan diri untuk memerangi Rusia. Ia mempersiapkan pasukan Utsmani sebaik-baiknya agar mampu menghadapi pasukan Eropa.

Sultan juga berusaha untuk memperluas wilayah dagang, baik di darat maupun di laut dan merencanakan untuk membuka wilayah Teluk sehingga bisa menyambung dengan sungai Dajlah dan Astana. Dengan demikian, sunga-sungai dapat digunakan secara alami untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi dari berbagai wilayah ke pusat pemerintahan, serta dapat memperlancar arus perdagangan.

Kesultanan Utsmani terlibat perang dengan Rusia karena pelanggaran yang dilakukan oleh Qawzaq di wilayah perbatasan. Raja Krimea berhasil menang dalam perang itu dan berhasil pula menghancurkan sejumlah desa kecil pada 1182 H/1768 M. Sedangkan Rusia berhasil menundukkan dua wilayah; Valachie dan Baghdan.

Rusia juga berusaha mendorong orang-orang Kristen Ortodoks untuk melakukan revolusi melawan pemerintahan Utsmani. Kaum Kristen Ortodoks yang berada di pulau Moroh memberontak, namun berhasil digagalkan.

Peperangan dengan Rusia terus berlanjut dalam jangka waktu yang panjang. Perang dengan Rusia ini dimulai sejak 1768 dan berakhir pada 1774. Dalam peperangan ini, pemerintahan Utsmani telah kehilangan wilayah kekuasannya yang demikian luas dan strategis. Saat itu, telah kelihatan dengan jelas kelemahan dan keterbelakangan pada kesultanan Utsmani.

Sultan Musthafa III jatuh sakit karena tenggelam dalam kesedihan saat berperang dengan Rusia. Dia wafat pada saat usia berusia 57 tahun. Musthafa III meninggal pada 1187 H/1774 M. Kedudukannya digantikan oleh saudaranya, Abdul Hamid I.



Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Kamis, 26 Mei 2011

Islam Cahaya Insani: NIKMAT TERINDAH ALLAH SWT BAGI SEORANG MUSLIM

Islam Cahaya Insani: NIKMAT TERINDAH ALLAH SWT BAGI SEORANG MUSLIM: "NIKMAT jiwa yg trindah adlh, dikala kita sdg diberi-Nya kemmpuan tuk mnikmati aktivitas kita dlm beribadah. sedangkan.. NIKMAT raga yg tri..."

NIKMAT TERINDAH ALLAH SWT BAGI SEORANG MUSLIM

NIKMAT jiwa yg trindah adlh, dikala kita sdg diberi-Nya kemmpuan tuk mnikmati aktivitas kita dlm beribadah.

sedangkan..

NIKMAT raga yg trindah adlah, dikala kita sdg diberi-Nya kemampuan tuk mampu dan gemar beribadah kepada-Nya.

semoga Allah SWT memsukan kita smua kedlm glongan org2 yg mendpat ke-2 NIKMAT trsbut. Amin.
Ya Allah..ya Rahman ya Rohim

Rabu, 20 April 2011

BUDI PEKERTI RASULULLAH SAW

“Rasulullah saw.bukanlah orang yang keji,beliau tidak membiarkan kekejian,tiada mengeluarkan suara keras di pasar-pasar dan tidak membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan. Beliau suka memaafkan dan berjabat tangan.”(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari Muahammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari Abi `Abdullah al Jadali, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

“Rasulullah saw. tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya, kecuali tatkala beliau berjihad fi sabilillah. Beliau pun tidak pernah memukul pembantu dan wanita.”
(Diriwayatkan oleh Harun bin Ishaq al Handzani, dari `Ubadah, dari Hisyam bin `Urwah, dari bapaknya, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)
“Aku mendengar Jabir bin `Abdullah r.a. berkata: `Tak pernah kudengar
Rasulullah saw. dimintai sesuatu, kemudian beliau berkata “tidak”.’
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari `Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan,yang bersumber dari Muhammad bin al Munkadir r.a.)
“Nabi saw. tidak menyimpan sesuatu untuk hari esok.”(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id, dari Ja’far bin Sulaiman, dari Tsabit, yang
bersumber dari Anas bin Malik r.a.)
“Sesungguhnya Nabi saw menerima hadiah dan membalas hadiah.”
(Diriwayatkan oleh `Ali bin Khasyram dan lainnya, dari `Isa bin Yunus, dari Hisyam bin `Urwah, dari bapaknya, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

TAWADLU RASULULLAH SAW

“Rasulullah saw. bersabda :”Janganlah kalian berlebihan memuji daku
sebagaimana kaum Nasrani yang berlebihan memuji anak Maryam. Aku
hanyalah seorang hamba, oleh sebab itu katakanlah (panggillah) `Abdullah(hamba Allah) dan Rasul-Nya.”(Diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’, diriwayatkan pula oleh Sa’id bin `Abdurrahman al Makhzumi dan sebagainya, mereka menerima dari Sufyan bin `Uyainah, dari Zuhri, dari
`Ubaidilah,dari Ibnu Abbas r.a., yang bersumber dari `Umar bin Khattab r.a.)
“Rasulullah saw. bersabda :”Sekalipun kepadaku hanya dihadiahkan betis
binatang, tentu akan kuterima. Dan sekiranya aku diundang makan betis
binatang, tentu akan kukabulkan undangannya. “
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin `Abdullahbin Bazi’, dari Basyar bin al Mufadlal, dari Sa’id dari Qatadah, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)
`Aisyah r.a. ditanya:”Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw. Di rumahnya ?”`Aisyah r.a. menjawab:”Beliau adalah seorang manusia biasa, beliau adalah seorang yang mencuci bajunya sendiri, memerah susu kambingnya sendiri, dan melayani dirinya sendiri.”
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Isma’il, dari’Abdullah bin Shalih, dari Mu’awiyah bin Shalih, dari Yahya bin Sa’id,yang bersumber dari `Amrah)

TANGIS RASULULLAH SAW

“Rasulullah saw. bersabda kepadaku:”Bacakan al Qur’an untukku!” “Wahai Rasulullah saw.! Mana mungkin aku membacakannya kepada Anda, bukankah ia diturunkan kepada Anda?”Beliau bersabda:”Sungguh aku ingin mendengarkannya dari selain daku.” Maka kubacakan surat an Nisa, sampai ayat: “Waji’na bika `ala ha ula-I syahida.” (Dan Kami mendatangkan kamu sebagai saksi atas mereka). (Q.S. 4 an- Nisa: 41). `Abdullah bin Mas’ud berkata :”Maka kulihat kedua mata Rasulullah saw. bercucuran air mata.”(Diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghailan , dari Mua’wiyah bin Hisyam, dari Sufyan, dari al A’masy, dari Ibrahim, dari `Ubaid, yang bersumber dari `Abdullah bin Mas’ud r.a.)
“Rasulullah saw. mencium `Utsman bin Madh’un* tatkala ia telah wafat. Dan ketika itu beliau menangis.” Atau (kata perawi ragu): “Kedua matanya berlinang air mata.”(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari `Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan, dari Ashim bin `Ubaidilah*, dari Qasim bin Muhammad*, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)
• ‘Utsman bin Madh’un adalah saudara sesusu Rasulullah saw. Ia wafat dua setengah tahun setelah hijrah.
• Ashim bin `Ubaidilah dadla’ifkan oleh Ibnu Ma’in, menurut keterangan Bukhari,periwayatannya munkar
• Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, merupakan salah seorang fukaha Madinah yang tujuh,dari generasi kedua dan periwayatnnya dikeluarkan oleh jama’ah.

CARA TIDUR RASULULLAH SAW

“Sesungguhnya Nabi saw. bila berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdo’a:
“Rabbi qini `adzabaka yauma tab’atsu `ibadaka.” (Ya Rabbi,peliharalah aku dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu).
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin al Matsani, dari `Abdurrahman bin Mahdi, dari Israil,dari Abi Ishaq, dari `Abdullah bin Yazid, yang bersumber dari al Bara bin `Azib r.a.)
“Bila Rasulullah saw. berbaring di tempat tidurnya,maka beliau berdo’a :
“Allahumma bismika amutu wa ahya’. (Ya Allah, dengan nama-Mu aku mati dan aku hidup).Dan bila Beliau bangun,maka Beliau membaca: “Alhamdulillahilla dzi ahyana ba’dama amatana wailaihin nusyur.” (Segala puji bagi Allah, yang telah menghidupkan aku kembali setelah mematikan daku dan kepada-Nya tempat kembali).
(Diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghailan, dari `Abdurrazaq, dari Sufyan, dari `Abdul Malik bin `Umair, dari Ruba’I bin Hirasyi, yang bersumber dari Hudzaifah r.a.)
“Sesungguhnya bila Nabi saw. istirahat dalam musafirnya di malam hari, Beliau berbaring ke sebelah kanan. Dan bila Beliau istirahat pada musafirnya menjelang subuh, maka Beliau tegakkan lengannya dan diletakkannya kepalanya diatas tangannya.”(Diriwayatkan oleh alHusein bin Muhammad al Hariri, dari Sulaiman bin Harb,dari Hammad bin Salamah dari Humaid, dari Bakr bin `Abdullah al Mazini, dari `Abdullah bin Rabbah, yang bersumber dari Abi Qatadah r.a.)

KEHIDUPAN RASULULLAH SAW

“Kami berada di samping abu Hurairah r.a. sedang ia memakai dua lembar kain kattan* yang dicelup bahan Lumpur merah. Lalu ia membuang ingusnya pada salah satu dari dua kainnya itu. Ia berkata : “Bakh, Bakh*”. Abu Hurairah membuang ingusnya pada kain kattan itu. Selanjutnya ia bercerita :”Sungguh,aku teringat kembali ketika aku tersungkur diantara mimbar Rasulullah saw.
dengan kamar `Aisyah r.a. karena pingsan. Tiba-tiba datang seorang laki-laki lantas ia letakkan kakinya di atas leherku. Ia mengira aku dalam keadaan gila.Sebenarnya aku tidak gila,tapi kejadian itu hanyalah kelaparan.”(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id, dari Hammad bin Zaid, dari Ayyub, yang bersumber dari Muhammad bin Sirin*)
• Kain Kattan ialah kain yang terbuat dari serat kayu. Atau kain yang dibuat dengan cara kasar,biasanya disebut kain rami.
• bakh, bakh ialah kalimat yang sering digunakan oleh orang Arab untuk menyatakan rasa kagum, atau rasa senang, atau tidak menyenangi sesuatu. Pada hadist ini, kalimat bakh,bakh berarti suatu isyarat terhadap pernyataan kurang senang, atau keadaan yang menyedihkan.
• Muhammad bin Sirin al Bashri adalah maula (budak yang dibebaskan) Anas bin Malik r.a.

“Rasulullah saw. tidak pernah kenyang makan roti, dan tiada pula dengan daging, kecuali dalam keadaan dlaffaf.”(Diriwayatkan oleh Qutaibah, dari Ja’far bin Sulaiman ad Dluba’I, yang bersumber dari Malik bin Dinar r.a.)
Malik bin Dinar selanjutnya berkata: “Aku bertanya kepada seorang laki-laki dari pedusunan: “Apa yang dimaksud dengan dlaffaf?” Ia menjawab: “Makan bersama orang banyak.” “Sesungguhnya kami, keluarga Muhammad saw.
pernah selama sebulan tidak menyalakan api (tidak menanak apapun) kecuali korma dan air.”(Diriwayatkan oleh Harun bin Ishaq,dari Ubadah, dari Hisyam bin `Urwah, dari ayahnya yang bersumber dari `Aisyah r.a.)
“Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku dijadikan takut oleh Allah dan tiada seorangpun yang diberi rasa takut sebagaimana aku. Sungguh, aku telah ditimpa cobaan di jalan Allah, dan tiada seorangpun yang mendapat cobaan sebagaimana aku.Sungguh merupakan pengalaman bagiku, yaitu selama tiga puluh hari tiga puluh malam, aku dan bilal tidak mendapatkan makanan yang pantas dimakan orang yang mempunyai rongga perut. Waktu itu hanya ada sedikit makanan yang disembunyikan pada ketiak bilal.”(Diriwayatkan oleh `Abdullah bin `Abdurrahman, dari Rauh bin Aslam Abu Hatim al Bashri,dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit, yang bersumber dari Anas r.a.)

NAMA-NAMA RASULULLAH SAW

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya bagiku ada beberapa nama, Yaitu:
Aku Muhammad, aku Ahmad dan aku al Mahi, maksudnya: dengan jalan aku,Allah membasmi kekafiran.Aku juga digelari al Hasyir,yang maksudnya: umat manusia dihimpun di belakangku.
Akupun digelari al `Aqib (penerus para Nabi)”al Aqib adalah yang tiada diiringi di belakangnya oleh hadirnya seorang Nabi.”(Diriwayatkan oleh Sa’id bin `Abdurrahman al Makhzumi dan lainnya, dari Sufyan, dari az
Zuhri, dari Muhammad bin Jabir bin Muth’im bin `Adi*, yang bersumber dari bapaknya)
• Muth’im bin `Adi adalah pembesar kota Mekkah.”Aku bertemu dengan Nabi saw. pada suatu jalan di Madinah. Ia bersabda: “Aku Muhammad, aku Ahmad, aku Nabiyur-Rahmah( Nabin pembawa Rahmat) dan
aku Nabiyut-Thaubah (Nabi pengajar taubah). Aku al Muqaffi (yang datang mengikuti jejak para Nabi). Aku al Hasyir dan Nabiyul Malahim (Nabi yang mengalami beberapa peperangan). “(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Tharif al Kufi, dari Abu Bakar bin `Iyyasy*, dari `Ashim,
dari Abi Wa’il, yang bersumber dari Hudzaifah r.a.)
• Abbu Bakar bin `Iyyasy, nama sebenarnya diperselisihkan. Ada yang mengatakan Muhammad, ada yang mengatakan `Abdullah, atau Salim, atau Syu’bah. Namun kesemuanya juga Tsiqat.

BEKAM RASULULLAH SAW

“Rasulullah saw. berbekam, yang membekamnya adalah Abu Thaibah, maka beliau memerintahkan untuk memberinya dua sha’* makanan. Rasulullah saw.
berbicara kepada tuannya (tuan tukang bekam), lalu mereka mengugurkan kharajnya*.” Rasulullah saw. bersabda :”Sesungguhnya cara pengobatan kalian yang paling afdhal ialah berbekam.” Atau (perawi ragu) :”Sesungguhnya cara pengobatan kalian yang utama adalah berbekam.”(Diriwayatkan oleh `Ali bin Hujr, dari Isma’il bin Ja’far, dari Humaid, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

KEPEKAAN RASULULLAH SAW

“Nabi saw. sangat peka melebihi anak dara pada pingitannya. Apabila beliau tidak menyenangi sesuatu, kami dapat mengetahuinya dari perubahan air mukanya.”(Diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghailan, dari Abu Daud, dari Syu’bah, dari Qatadah, dari `Abdullah bin Abi `Utbah, yang bersumber dari Abu Sa’id al Khudri r.a.)
`Aisyah berkata :”Aku tidak pernah memandang kemaluan Rasulullah saw.” Atau ia berkata :”Sekali-kali aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah saw.”(Diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghailan, dari Waki’, dari Sufyan, dari Manshur, dari Musa bin `Abdullah bin Yazid al Khathimi, dari Maula `Aisyah, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)
• Abu Thaibah adalah nama panggilan bagi Nafi’, ia adalah budak Bani Haritsah atau budak kepunyaan Abu Mas’ud al Anshari.
• Sha’(gantang) adlah takaran. Satu Sha’sama dengan empat mud, sedangkan satu mud sama dengan tujuh ons.
• Kharaj ialah suatu kesepakatan antara tuan dengan budak untuk membayar kepada tuannya sejumlah uang, sewaktu budak tidak bekerja pada tuannya.Dalam peristiwa ini Abu Thaibah seharusnya membayar tiga Sha’, tapi karena ia telah membayar dua Sha’, hasil membekam Rasulullah saw. Maka yang satu Sha’lagi digugurkan oleh tuannya setelah Rasulullah saw. berbicara dengan tuannya.
“Nabi saw. berbekam dan memerintahkan kepadaku (untuk membayar), maka kuberikan pada tukang bekam upahnya.”(Diriwayatkan oleh `Amr bin `Ali, dari Abu Daud, dari Waraqa’ bin `Umar, dari `Abdil A’la,
dari Abi Jamilah, yang bersumber dari `Ali k.w.)”Rasulullah saw. pernah berbekam pada dua urat leher dan tengkuk.Beliau
berbekam pada tanggal 17,19, dan 21.”(Diriwayatkan oleh `Abdul Quddus bin Muhammad al `Athar al Bashri, dari `Amr bin Ashim, dari Hamman,dan diriwayatkan pula oleh Jarir bin Hazm,keduanya menerimanya dari Qatadah, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)
“Rasulullah saw. bersabda :”Barangsiapa berbekam pada tanggal 17,19 dan 21,tentulah tindakannya itu jadi penyembuh bagi setiap penyakit.”
(Riwayat Abu Daud)

KH. M. SYAFI'I HADZAMI

KH.M. Syafi’i Hadzami
Bersamaan dengan perkembangan Islam di Jakarta dan semakin banyaknya kelompok ulama, lahirlah seorang ulama Betawi yang menjadi generasi kedua dalam jaringan intelektual Islam Betawi pada abad ke -20, yakni KH. M. Syafi’I Hadzami. Ia dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1931 M bertepatan dengan 12 Ramadlan 1349 H. Orang tuanya bernama Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. Sejak awal kecil KH. M. Syafi’I Hadzami berada dibawah bimbingan datuknya, Husein, di Batutulis XIII, Pecenongan. Disinilah KH. M. Syafi’I Hadzami mendapatkan bimbingan intelektual pertama dengan belajar Al Qur'an hingga fasih beserta tajwidnya. Selain itu, ia juga belajar ilmu sharaf dan nahwu. Pada usia 9 tahun, KH. M. Syafi’I Hadzami sudah khatam Al Qur'an. Dibawah asuhan datuknya yang disiplin dan tegas.

Sejak kecil, KH. M. Syafi’I Hadzami senang melihat orang-orang pintar, terutama para kyai. Ia ingin menyamai mereka. Kerana itu, ketika kecil, ia senang berpakaian seperti ulama. Namun, ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarga, ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kyai. Barangkali didikan datuknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama itulah yang membuat Syafi’i kecil ingin menyamai mereka. Keinginan itulah yang menjadikan Syafi’i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu.




KH.Syafi’i Hadzami mendapat julukan Muallim Jakarta, sejak muda beliau gemar sekali menuntut ilmu dan tak pernah merasa puas terhadap ilmu yang beliau miliki, maka tak heran bila beliau menguasai beberapa fan ilmu seperti Ilmu Fiqih, ilmu Falaq, ilmu Hadist , Ilmu Tauhid dan berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya. Salah satu Guru beliau yang sangat beliau Hormati adalah Syech Muhammad Yasin bin Isa Al Fadani seorang Ulama terkemuka dari Mekkah yang bergelar Musnidud Dunya, dan guru- guru beliau lainnya adalahKyai Husain, K.H. Abdul Fattah, Ustaz Sholihin,Habib Ali Bungur, Habib Ali alhabsyi kwitang K.H. Ya’qub Sa`idi, .

Penggambarannya untuk memburu ilmu-ilimu agama hanya terbatas di wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan kebanyakan perjalanan intelektual ulama-ulama terkenal lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Syafi’i Hadzami tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi Syafi’i Hadzami. Dapatlah dikatakan bahwa selain tempat ibadah, masjid juga berfugsi sebagai tempat mengajarkan dan menyebarkan Islam. Tradisi mengajar agama di masjid sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebiasaan ini dapat ditemukan di hampir seluruh dunia Islam, khususnya di dua masjid utama di tanah suci, Makkah dan Madinah, yang dianggap oleh umumnya muslim Asia Tenggara abad ke-17 sebagai pusat kosmik dan sumber ilmu.

Namun kemantapan hatinya, ketekunan, dan kekerasan usahanya, yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlaq, dan kederdasan otaknya, telah mengantarkan Syafi’i Hadzami meraih keberhasilan yang patut dibanggakan, setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan intelektual abad ke-16 – 21.

Dalam buku biografinya yang ditulis oleh Ali Yahya (1999) disebutkan Syafi’i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuwan. Di masa-masa awal, setelah mempelajari al Qur’an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang palin ditekuninya adalah tauhid. Fiqh, dan ilma alat (nahwu, sharaf, dan balaghah). Berbagai kitab matan ia hafalkan, terutama yang berbentuk nadzam. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, ia memberikan perhatian yang khusus. Penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat menjadi prioritas utamanya di masa-masa awal. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat tergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu-ilmu alat barulah ia menekuni ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqh beserta qawaidnya, mantiq, tafsir, ulumul hadis, tasawuf, falak,’arudh dan lain sebagainya.

Jaringan Pengajian

Jaringan intelektual yang didapat Syafi’i Hadzami dari guru-gurunya terbatas pada jaringan ulama Betawi, yang dikenal sebagai masyarakat religius dan mengandalkan masjid sebagai pusat intelektual. Namun demikian, Syafi’i Hadzami memiliki jaringan intelektual ke atas (guru-gurunya), seperti KH. Mahmud Romli, (1866 M), KH Ahmad Marzuki (1876 M), yang berpuncak pada dua ulama Haramain ternama abad ke-17; Ahmad al-Qusyasyi dan Abdul Aziz al Zamzami.

Beberapa ulama yang dikunjungi Syafi’i Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. Syafi’i Hadzami sering diajak datuknya untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat Kyai Abdul Fatah (1884-1947 M) yang dikenal sebagai pembawa Tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif al-Sanusi di Makkah. Dari gurunya ini, ia mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berdzikir bersama kelompok Tarekat Idrisiyah yang dipimpin oleh Kyai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, Syafi’i Hadzami yang masih belia pernah mengalami fana’ (lupa dan hilang kesadaran diri) kerena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak ingat persis bagaimana situasiya saat itu. Maka kyai pun memberinya doa khusus. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kyai. Kyai Abdul Fattah mendoakan Syafi’i Hadzami agar kelak menjadi orang soleh.

Syafi’i Hadzami juga berguru kepada Pa Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Dalam mengajar, Pak Solihin tergolong keras dan disiplin, seperti kakeknya. Sebagai seorang yang telah ikut berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar dinamakam raudlatuh al sholihin.

Setelah mengaji al Qur’an kepada guru-gurunya, Syafi’i Hadzami mengaji kepada Guru Sa’idan di Kemayoran (1948 – 1995). Pada gurunya ini, ia belajar ilmu tajwid ilmu nahwu dengan kitab pegangan mulhat al-i’rab, dan ilmu fiqh dengan kitab pegangan al Tsimar al Yani’ah yang merupakan syarah dari kitab al Riyadh al Badi’ah. Guru Saidan pula yang menyuruhnya belajar kepada kepada guru-guru yang lainnya, misalnya Guru Ya’kub, Sa’idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia), dam Guru Abdul Madjid (Pekojan).

Salah satu guru utama Syafi’i Hadzami adalah Habib Ali ibn Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Kepadanya Syafi’i Hadzami belajar lebih kurang 18 tahun, yaitu sejak 1958 – 1976. Seperti murid-murid Habib Ali lainnya (KH. S. Muhammad ibn Ali al Habsyi, Habib Abdullah ibn Abdul Qodir Bil Faqih, KH. Abdullah Syafi’i, KH. Tohir Romli, KH. Abdurrazaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh), Syafi’i Hadzami juga datang dengan membaca kitab dihadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan.

Syafi’i Hadzami juga rajin mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang). Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk menghadiri majlis yang bisa diadakan setiap hari Ahad. Bahkan, dari Habib Ali inilah ia mendapat kata pengantar berbahasa Arab dalam karyanya yang berjudul al Hajjat al Bayyinah.

Guru Syafi’i Hadzami yang lain adalah KH. Mahmud Ramli, seorang ulama besar Betawi. Selama 6 tahun (1950-1956), ia mempelajari kitab-kitab kuning, diantaranya Ihya Ulum ad Din, dan Bujayrimi. Selain Syafi’i Hadzami, murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama terkemuka di Jakarta adalah KH. Abdullah Syafi’i, Thabrani Paseban, dan lain-lain.

Syafi’i Hadzami juga berguru kepada KH. Ya’kub Sa’di di Kebon Sirih. Selama 5 tahun (1950-1955) ia telah mengkhatamkan kitab-kitab mantiq dan ushuluddin, seperti kitab Idhah al Mubham, Darwis Quwaysini, dll. Sedangkan dalam ilmu Nahwu, ia belajar kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyah seperti kitab; Kafrawi, Mulhat al i’rab dan Asymawi.

Beberapa guru Syafi’i Hadzami lainnya adalah KH. Mukhtar Muhammad (1953-1958), KH. Muhammad Shaleh Mushannif, KH. Zahruddin Utsman, Syaikh Yasin al Fadani, dan KH. Muhammad Thoha.

Jika dilihat dari guru-gurunya ini, tampak sekali Syafi’i Hadzami belajar kepada para ulama yang berasal dari luar Jakarta yang memiliki bobot intelektual yang luar biasa. Namun demikian, tingkat keilmuwan Syafi’i Hadzami tidak kalah dengan ulama-ulama lainnya yang hidup dalam generasi abad ke-20.

Sikap Terhadap Pembaharuan

Dalam setiap perubahan zaman, diperlukan suatu usaha baru untuk menafsirkan dan menyelaraskan agama dengan tuntutan zaman. Karena itu, pembaharuan diyakini sebagai cara untuk menyesuaikan agama agar tidak ketinggalan zaman. Inilah yang diyakini KH. M. Syafi’i Hadzami, bahwa pembaharuan sangat diperlukan oleh agama. Ini berarti ia tidak kaku dalam menyikapi perubahan dan perkembangan yang terjadi. Ia tidak menjadikan pandangan hidupnya menjadi suatu sistem yang tertutup dan kemudian memalingkan diri dari proses modernisasi.

Dalam menyikapi pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. M. Syafi’i Hadzami bersikap cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi gagasan-gagasan baru, ia tidak mau langsungmenolak atau menyetujuinya tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan pedoman syari’at. Jadi, pembaharuan dalam memahami agama bukan sesuatu yang harus ditolak, asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan- persyaratan untuk itu. Pandangan ini didasarkan pada teks hadis Nabi SAW bahwa setiap seratus tahun ada yang disebut mujaddid (pembaharuan). Dalam kehidupan beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang memperbaharui pandangan-pandangan agama. Jadi, yang di perbaharui bukan agamanya, tetapi pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang dirubah, melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seoarang mujaddid.

Karya-karyanya

KH. M. Syafi’i Hadzami dikenal sebagai ulama produktif menuliskan pemikirannya dalam bentuk buku. Pada umumnya, karya-karyanya ditulis dalam bentuk risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia bertuliskan arab. Karya-karyanya hampir semuanya ditulis pada era 80-an sebagai puncak intelektual sang kyai. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, produktifitas menulisnya sudah mulai berkurang.

Karya terkenal KH. M. Syafi’i Hadzami adalah buku yang berjudul Tawdhih al Adillah, yang disusun acara tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cenderawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7 (tujuh) jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri jiran Malaysia.

Karya-karya lainnya adalah;
1.
Sullamu al Arsy fi Qira’at Warsy

Risalah setebal 40 halaman ini berisi kaidah-kaidah khusus dalam pembacaan al Qur’an menurut Syekh Warasy.
2.
Qiyas adalah Hujjah Syar’iyyah

Dalam risalah ini, dikemukakan dalil-dalil dari al Qur’an, Hadis, dan Ijma’ ulama yang menunjukkan bahwa qiyas merupakan salah satu argumentasi syari’ah.
3.
Qobliyyah Jum’at

Dalam risalah ini membahas kesunatan shalat sebelum shalat jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
4.
Shalat Tarawih

Di dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dalil-dalil dari hadis dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih.
5.
Ujalah Fidyah Shalat

Risalah ini membahas perbedaan pendapat tentang pembayaran fidyah (mengeluarkan bahab makanan pokok) untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang dimasa hidupnya pernah meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu.
6.
Mathmah al Rubi fi Ma’rifah al Riba

Dalam risalah ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan riba, seperti hukum riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya.


Wafatnya beliau pada pagi 7 Mei 2006 bersamaan 9 Rabi`uts-Tsani 1427 dalam usia 75 tahun merupakan satu kehilangan bagi kita. Al-Fatihah....


Sumber : Ihsan dari http://www.pondokpesantren.net