Rabu, 17 Juli 2013

Doa Nabawi untuk Pelunasan Hutang

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rah maanir
rah iim.Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa
Sayidina Muh ammadin wa ‘alaa aali
Sayidina Muh ammadin wa ashaabihi wa
azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi
ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

suatu hari Rasulullah SAW memergoki Abu
Umamah.ra yang tengah dalam kesulitan.
Rasulullah SAW bertanya kepadanya, "Apa
yang terjadi denganmu?" Abu Umamah.ra
menjawab, "Aku sedang menghadapi
kesulitan dan sejumlah hutang." Lalu
Beliau.SAW bersabda, "Maukah kau aku
ajarkan kepadamu kata-kata bila kau
ucapkan, niscaya Allah SWT akan
menghilangkan kesusahan pada dirimu
dan melunasi hutang-hutangmu.
Ucapkanlah di pagi dan sore hari :
Allahumma inni a'udzubika minal hammi
wal hazan, wa a'udzubika minal 'ajzi wal
kasali, wa a'udzubika minal jubni wal
bukhli, wa a'udzubika min ghlabatid
dayni wa qahrir rijaal
[Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kesusahan dan kedukaan, aku berlindung
kepada-Mu dari lemah dan malas, aku
berlindung kepada-Mu dari takut (miskin)
dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari
banyaknya hutang dan paksaan orang-
orang.]
Abu Umamah berkata, "Lantas aku pun
mengamalkan doa itu dengan tekun.
Benar, ternyata Allah menghilangkan
kesusahanku dan melunasi hutangku."
(HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi, dari Abu
Sa'id.)
kami mendapatkan ijazah doa tersebut
dari Abah (al-Habib Muhammad Luthfi
bin Ali bin Yahya-Pekalongan) dan Abuya
(Sayid Muhammad bin Alwy al-Maliki -
Mekkah), agar doa tersebut lebih baik
dibaca setiap sehabis sholat 5 waktu,
sebanyak tiga kali agar lebih segera
terkabul.
Abah juga menambahkan, agar
dimudahkannya rezeki dari Allah SWT
secara tekun membaca bacaan ini setiap
sholat sunnah fajr/qabliyah subuh (2
rakaat sebelum sholat fardhu subuh) ;
Subhanallah wa bihamdi, Subhanallah al-
azhim, Astagfirullah 100x
[Maha Suci Allah dengan segala puji-Nya,
Maha Suci Allah Yang Maha Agung, aku
memohon ampunan-Mu]
lalu tangan kanan memegang dada
sebelah kiri (jantung), dengan membaca
Yaa Fattah Yaa Razzaq 70x
[Yang Maha Pembuka, Yang Maha Pemberi
Rezeki]

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Wa min Allah at taufiq hidayah wal
inayah, wa bi hurmati Habib wa bi
hurmati fatihah!!

Senin, 11 Juli 2011

SHALAT KITA BUTUH


RENUNGAN AKAN SHALAT DARI HATI YANG JUJUR DAN LOGIKA

Shalat itu tidak akan menambah Kemuliaan dan Kesempurnaan Allah SWT, sebab tanpanya pun Allah SWT telah Mulia dan Maha Sempurna dengan Sendiri-Nya serta selamanya tiada awal dan akhir atas-Nya....


Shalat itu adalah Ibadah yang wajib bagi kita dan baik pula bagi kita..(sesungguhnya)
Dimana letak wajib-Nya..?? Sebagaimana disebutkan dalam banyak Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW....
Penulis tidak merincinya dikesempatan ini, karena Penulis hanya umat yang masih banyak belajar....

Dimana letak baik dan butuhnya kita terhadap Shalat itu sendiri...??
Penulis coba berbagi renungan/ tafakur diri terhadap Shalat itu, kesimpulannya :

  1. Shalat itu baik bagi kita karena dengannya kita dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, yakni Sang Pencipta yang Maha Sempurna. Kita butuh akan Allah SWT sebab kita adalah hamba yang lemah, hamba yang selalu butuh bimbingan, pemeliharaan dan pertolongan dari-Nya. Sebgaimana binatang ternak terhadap tuannya, namun kita lebih mulia dari binatang, dan kita tuan yang tak akan mampu menciptakan ternak dan makanannya;
  2. Shalat itu baik dan kita membutuhkannya, karena Insya Allah dengan kita mngerjakannya dengan benar dan baik maka kita akan terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar. Renungkanlah sejenak, dengan Shalat yang lazim kita kerjakan saja, kita masih suka/ sering terjerumus pada fikiran dan perbuatan yang keji dan munkar...apa jadinya bila kita melalaikan shalat itu..?, celakalah kita karenanya;
  3. Shalat itu baik dan kita membutuhkannya, karena Insya Allah dengan kita mngerjakannya dengan benar dan baik maka jiwa dan raga kita akan tenang, damai, dan bahagia selalu serta selamanya. Sebab melaluinya kita akan punya kesempatan tuk makin dekat dan mengenal lebih baik akan Allah SWT, yang dampaknya akan membuat kita makin yakin akan kesempurnaan Allah SWT.
Demikian kesimpulan penulis akan arti Shalat bagi diri kita, semoga hal baik yang terdapat dalam penulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, namun apabila ada banyak kekeliruan dalam penulisannya ini, maka penulis mohon dibukakan maaf yang sebesar-besarnya atas keterbatasan dan keawaman penulis terhadap Ilmu Agama.

Saran dan koreksi penulis harapkan bagi pembelajaran diri dan kita semua. Terima kasih.

Kamis, 07 Juli 2011

Nikmat Tak Tertandingi

Sungguh perlu kita renungi & sadari bahwa kenikmatan Allah itu amatlah banyak & besar pada kita ditiap wktunya..

tidaklah dapat jika dibandingkan dengan kesulitan & kesempitan yang kita alami, karena Nikmat-NYA tersebut sangatlah banyak dan besar..

bahkan tidak pula dapat diimbangi dengan ibadah yang kita lakukan sepanjang usia kita..

karenanya tidaklah pantas lagi bagi kita tuk berkeluh kesah...

Justru sehrusnya kita dapat selalu tenang & bahagia.. karena kita

memiliki Allah SWT yg bersifat Maha Sempurna...

Mari kita pelajari dan yakini akan sifat2 Allah SWT yang amat smpurna itu..

IMAN itu YAKIN yang MUTLAK

Bukankah kita sepaham, bahwa …..

Bila kita mengaku mempercayai dan meyakini akan seseorang maka tentu kita telah mengenalnya dengan cukup baik, baik itu secara sifat, perkataan, maupun perbuatannya.

Tidaklah mungkin kita mengaku mempercayai dan meyakini akan seseorang sedangkan kita belum pernah mengenal sifat, perkataan, maupun perbuatannya.

Karenanya….

Pantaskah kita menyatakan percaya dan yakin akan Allah SWT dan Rasul-Nya ?, sedang kita belum pernah mengenal dan meyakini sifat (TAUHID / Rukun Iman), perkataan (Al QUR’AN dan HADIST), dan perbuatannya (JAGAT ALAM RAYA dan ISINYA).

Lalu....

Mungkinkah karena keengganan dan kelalaian kita untuk mengenal serta menyakini akan sifat, perkataan, dan perbuatan-Nya itu, sehingga membuat kita sampai saat ini masih berani serta gemar melalaikan dan mengingkari akan segala tuntunan dan ajaran-ajaran-Nya..??, Bahkan kita berani melakukan dan menempatkan diri ditengah-tengah kesesatan yang amat di murkai oleh Allah SWT sebagai sang Khaliq juga Pemilik dan Penguasa Jagat Alam Raya dan segala Isinya.....

Sungguh, khawatir dan takutlah kita akan murka-Nya Allah SWT...

Marilah kita cari dan dapatkan bersama Ridho-Nya Allah SWT, karena itu lebih bernilai dari apapun yang pernah dan akan ada di Alam Jagat Raya ini....

Contoh-contoh kelalaian yang kerap kita lakukan dalam keseharian, baik disadari maupun tanpa disadari :

  1. Yakin dengan bersembunyi-sembunyi dalam melakukan kesesatan dirinya akan selamat. Padahal diketahui olehnya, bahwa ada Allah SWT yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui;
  2. Berkeluh kesah akan nasib hidup yang dipandangnya amat tidak adil dan menyenangkan bagi dirinya, sedang ia mengetahui bahwa ada Allah SWT yang Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Berkehendak;
  3. Khawatir dan kurang puas akan rizqinya, padahal ia mengetahui bahwa ada Allah SWT yang Maha Adil dan Bijaksana;
  4. Khawatir dan Menunda-nunda pertobatan didalam kesesatan, padahal ia mengetahui bahwa ada Allah SWT yang Maha Pengampun lagi Maha Perkasa;
  5. Melakukan berbagai ibadah dengan pengetahuan seadanya tanpa ada keinginan dan usaha untuk mengetahui dan mempelajarinya lebih mendalam serta lebih baik lagi;
  6. dan yang lain-lainnya, yang diketahui oleh diri kita masing-masing.

Penyebab inti dari terjadinya contoh-contoh tersebut di atas disimpulkan, karena ternyata kebanyakan dari kita baru dapat mengetahui Allah SWT dan Rukun Ke-Iman-an lainnya hanya sebatas simbol ke Islam an kita saja, lalu kita lalai dan enggan tuk mengenal dan mengkaji lebih baik lagi mengenai pemahaman dan kandungan makna yang ada didalamnya. Sehingga hal tersebut tentulah membuahkan keyakinan yang salah dan rapuh akan Iman itu sendiri....

Lantas bagaimana dengan amal ibadah kita selama ini...??

Telah sesuaikah dengan tuntunan dan syarat-syaratnya...??

Yakinkah akan sampai kepada-Nya....??

Berapa besarkah peluang diterimanya amal ibadah kita ...??

Bukankah seluruh amal ibadah itu dilakukan dengan berbasis kepada Ke-Iman-an yang benar dan mantap....??

Wallahuallam...

Semoga dengan penulisan ini semua, memberikan kita inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mau membuka diri dan meringankan diri kita agar kita bersama mau mencari dan mengunjungi berbagai majlis-majlis ilmu yang akan memberikan kita pemahaman dan keyakinan yang benar akan Allah SWT, Rassul serta ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan yang disampaikannya.... Amin

Sahabat Sang Pelajar

Muhammad Luthfi Ali bin H. Ali Dimmung bin Guru Dimmung (Rohimun) bin Guru Na’im

Selasa, 05 Juli 2011

SOMBONG VS TAWADHU

Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al Qur’an dan As Sunah mencelanya dan

mengajak kita untuk meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini diancam tidak masuk ke

dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah memuji hamba-hamba-Nya yang rendah hati dan

tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala berfirman,

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi

dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang

baik.” (QS. Al Furqaan: 63)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Allah ta’ala juga berfirman,

تِلْكَ الدَّارُ الْآَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُ وا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا

“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk

menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)

Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang

menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang dia

miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Karena barang siapa yang menuntut

ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan membuatnya rendah hati dan menumbuhkan kehusyu’an hati

serta ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus memperhatikannya.

Bahkan di setiap saat dia selalu berintrospeksi diri dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia

pasti akan terlempar keluar dari jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk

berbangga-banggaan dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta

membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, sungguh ini tergolong kesombongan yang paling besar.

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil

dzarrah (anak semut), la haula wa la quwwata illa billah.” (lihat Al Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu ‘Utsaimin,

hal. 75-76 cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah. Sayangnya di dalam kitab ini saya menemukan kesalahan cetak,

seperti ketika menyebutkan ayat dalam surat An Nahl di atas, di sana tertulis An Nahl ayat 27 padahal

yang benar ayat 23. Wallahul muwaffiq)

Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala

seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih

sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.

Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah

hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali

bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha

untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah

kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah

keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri.

Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya

maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan

derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan

cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok,

dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada

seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala

melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,

هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَآْفُرُ

“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru

kufur.” (QS. An Naml: 40).”

Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian

dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti

kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga

menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai

bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang

menimpanya. Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَآْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَآْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ . آَلَّا

“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan

nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila

Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’

Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17)

Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezekinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya

serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan

tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku

menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)

Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu

Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah mendengar

Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang

lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan seluruh umat manusia dikumpulkan. Di

dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan kemuliaan derajat yang lebih di

antara manusia yang lain. Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena faktor

apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang

berujar kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang mati syahid, dan dia

juga tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’

Pada keesokan harinya, laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk

bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika dia selesai bercerita

maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi

orang tidur!” Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan

Umar memegang urusan pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu.

Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu menjawab, Bukankah anda telah menolak cerita saya dahulu?! Umar mengatakan, Tidakkah kamu

merasa malu menyebutkan keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu

dia sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu ‘anhu

tidak merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu

Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun

sebenarnya dia tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi inilah salah

satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal.

103-104)

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

DO'A MEMPERMUDAH REJEKI dan JODOH

Hamba Duniawi

Sabtu, 02 Juli 2011 12:11 WIB

Oleh : Agustiar Nur Akbar

Sebagai seorang muslim tentu kita tahu siapa Tuhan kita. Siapa yang menciptakan kita. Siapa yang pantas kita sembah. Dan juga mengatahui penghambaan kita untuk siapa. Serta kita ini adalah hamba siapa.

Namun tahukah engkau wahai saudaraku? Sesungguhnya secara sadar tidak sadar, kita telah menjadi hamba selain Allah SWT. Mau tidak mau kita sudah termasuk orang yang menuhankan tuhan selain Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Esa, Allah SWT. Yang kita tuhankan ini bisa juga disebut berhala modern. Sehingga kita seringkali terjerumus dan terjatuh dalam penghambaan kepadanya. Secara tidak sadar dan sadar, kita telah menyembahnya, menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada tuhan ini. Kita rela melakukan apapun demi tuhan yang tidak layak kita sembah ini.

Materi dan duniawi beserta segala macam isinya seperti popularitas, wibawa, jabatan, dan lain sebagainya. Itu semua adalah tuhan yang kita sembah selain Allah SWT. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah hamba-hamba dinar, dirham, dan kain beludru. Jika diberi ia rela dan jika tidak diberi ia tidak rela”. (H.R Bukhari).

Imam Shon’ani dalam Subulu as Salam syarah Bulughu al-Maram menjelaskan. Bahwasanya yang dimaksud dengan hamba dinar dan dirham adalah orang yang menghambakan dirinya kepada duniawi. Ketika ia mencari dunia seolah ia adalah hamba dari dunia itu dan dunia adalah sang raja-nya. Serta ia telah benar-benar tenggelam kepada syahwat duniawinya.

Beliau juga menambahkan. Bahawasanya yang tercela dari dunia adalah ketika seorang hamba telah menenggelamkan dan menyibukan dirinya untuk dunia. Sehingga ia melupakan kewajibannnya kepada Allah SWT. Dzat yang lebih berhak diutamakan dari apapun dan siapapun.

Marilah kita renungkan bersama akan hal ini wahai saudaraku! ‘abdullah artinya hamba Allah, menuhankan Allah SWT. Dari sini kita bisa juga maknai. Bahwasanya ‘abdu ad-dirham dan ‘abdu ad-dinar, hamba dirham dan hamba dinar. Orang yang menuhankan dirham serta dinar. Dimana dirham dan dinar adalah perlambang dari materi atau duniawi. Ini seperti yang diisyaratkan Imam Shon’ani. Namun ia tidak sampai jatuh pada hukum syirik.

Ketika kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi. Ketika kita tidak menghiraukan status harta itu. Apakah ia syubhat, haram, atau halal. Yang penting kita mendapatkannya. Bukankah itu sudah termasuk dari penghambaan kepada materi? Menyerahkan diri, melakukan apapun demi materi.
Ketika kita berusaha meraih popularitas, dan berusaha mempertahankannya mati-matian. Bahkan tak jarang menempuh jalan mistik yang tidak seharusnya. Dan juga membahayakan diri sendiri dengan konskuensinya. Bahkan tak jarang demi popularitas rela merendahkan diri dengan mengobral aurat misalnya. Atau memperdagangkan diri secara langsung dan tidak langsung. Bukankah itu berati kita sudah menghambakan diri kita untuk pupolaritas, duniawi? Serta mengalahkan Allah SWT Dzat Yang Maha Agung dengan segala aturannya yang sempurna?

Penulis adalah sahabat Republika Online yang tengah menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo

_____________________________________________________

Anda ingin BERSEDEKAH pengetahuan dan kebaikan? Mari berbagi hikmah dengan pembaca Republika Online. Kirim naskah Anda melalui hikmah@rol.republika.co.id. Rubrik ini adalah forum dari dan untuk sidang pembaca sekalian, tidak disediakan imbalan.

Redaktur: Siwi Tri Puji B

Sejarah Para Khalifah: Ibrahim I, Sultan yang Mencintai Rakyat

Senin, 27 Juni 2011 06:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Ibrahim I adalah Sultan Turki Utsmani dari 1640 hingga 1648. Dia menjadi sultan setelah saudaranya, Murad IV, tidak meninggalkan seorang pun anak laki-laki sebagai penerus tahta. Saat Sultan Murad IV meninggal, tidak seorang pun keturunan Ali Utsmani yang masih hidup, kecuali Ibrahim yang dipenjara selama pemerintahannya.

Tatkala saudaranya meninggal, para pembesar kerajaan segera mendatanginya ke penjara untuk memberitahukan kematian saudaranya, Sultan Murad IV. Tatkala mereka menemuinya, ia menyangka bahwa mereka datang untuk membunuhnya. Dia ketakutan dan tidak percaya dengan berita yang mereka bawa. Oleh sebab itu, ia tidak membukakan pintu penjara. Akhirnya para pembesar membongkar paksa pintu penjara dan menyatakan ucapan selamat kepadanya.

Ibrahim I masih mengira bahwa mereka sedang berusaha memperdayainya untuk mengorek isi hatinya. Maka dia pun menolak tawaran untuk berkuasa dan mengatakan lebih senang hidup sendirian di balik jeruji daripada menerima kerajaan dunia. Tatkala mereka tidak berdaya meyakinkannya, ibunya mendatanginya dengan membawa jenazah saudaranya.

Saat itulah dia duduk di tahta kesultanan dan memerintahkan agar jenazah saudaranya dikuburkan dengan prosesi yang megah. Di depan jenazah Sultan Murad IV, ada tiga kuda yang paling baik yang pernah ditungganginya saat berperang di Baghdad. Setelah itu, Ibrahim berangkat ke Masjid Jami' Abu Ayyub Al-Anshari dan di sanalah ia disandangi pedang, dan yang hadir membaiatnya sebagai khalifah.

Ketika naik ke singgasana dia berujar, "Ya Allah, perbaiki keadaan rakyat hamba selama pemerintahan hamba. Dan jadikanlah kami saling mencintai satu sama lain."

Kondisi dalam negeri relatif stabil setelah Sultan Murad IV, saudaranya, melakukan sejumlah perbaikan ke dalam, terutama terhadap militer. Maka Sultan Ibrahim memfokuskan diri pada perbaikan ekonomi dan menegakkan undang-undang perpajakan dengan asas-asas yang baru.

Pada masa pemerintahannya, Perdana Menteri Musthafa Pasya berhasil menghentikan campur tangan perempuan dalam masalah-masalah kesultanan dan berhasil menumpas para pembesar kerajaan yang melakukan perusakan.

Ada yang mengatakan, Khalifah Ibrahim I menderita penyakit mental, bahkan gila. Mungkin karena menderita kelabilan mental (neurasthenia), dan juga tertekan setelah kematian saudaranya.




Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Sejarah Para Khalifah: Sultan Musthafa III, Perang Panjang Melawan Rusia

Selasa, 05 Juli 2011 10:44 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Musthafa III lahir pada 28 Januari 1717 dan meninggal 221 Januari 1774. Ia adalah seorang penguasa yang bersemangat dan cerdik. Musthafa III mencoba memodernkan pasukan dan mesin pemerintahannya untuk membawa negerinya sederajat dengan Eropa.

Ia melindungi layanan jenderal asing untuk mengawali reformasi infanteri dan artileri militer. Sultan Musthafa III juga memerintahkan pendirian Akademi Matematika, Navigasi dan Sains.

Sayangnya, kekuasaan Utsmani telah merosot begitu dalam. Sadar akan lemahnya militer negaranya, Musthafa III menghindari perang dan tak sanggup mencegah aneksasi Krimea oleh Katarina II dari Rusia. Namun aksi ini, bersama dengan agresi Rusia lebih lanjut di Polandia, memaksa Musthafa III mendeklarasikan perang melawan Rusia sebelum kematiannya.

Musthafa III menjadi khalifah saat berumur 24 tahun, dan sangat paham tentang seluk-beluk pemerintahan. Dia mengangkat Menteri Qawjah Raghib sebagai perdana menteri karena dianggap memiliki wawasan yang luas dan pengalaman yang banyak dalam urusan negara. Raghib mampu memadamkan pemberontakan kalangan Arab Syam yang mengganggu kafilah-kafilah haji.

Dalam pandangan Sultan Musthafa III, bahaya yang sedang mengancam kesultanan adalah dengan munculnya kekuasaan Rusia baru. Tampaknya dia mengetahui rencana yang disusun Rusia yang berusaha mencabik-cabik pemerintahan Utsmani. Sebuah rencana yang diarsiteki Petrus Agung dalam sebuah wasiatnya yang terkenal.

Oleh sebab itu, Musthafa III mempersiapkan diri untuk memerangi Rusia. Ia mempersiapkan pasukan Utsmani sebaik-baiknya agar mampu menghadapi pasukan Eropa.

Sultan juga berusaha untuk memperluas wilayah dagang, baik di darat maupun di laut dan merencanakan untuk membuka wilayah Teluk sehingga bisa menyambung dengan sungai Dajlah dan Astana. Dengan demikian, sunga-sungai dapat digunakan secara alami untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi dari berbagai wilayah ke pusat pemerintahan, serta dapat memperlancar arus perdagangan.

Kesultanan Utsmani terlibat perang dengan Rusia karena pelanggaran yang dilakukan oleh Qawzaq di wilayah perbatasan. Raja Krimea berhasil menang dalam perang itu dan berhasil pula menghancurkan sejumlah desa kecil pada 1182 H/1768 M. Sedangkan Rusia berhasil menundukkan dua wilayah; Valachie dan Baghdan.

Rusia juga berusaha mendorong orang-orang Kristen Ortodoks untuk melakukan revolusi melawan pemerintahan Utsmani. Kaum Kristen Ortodoks yang berada di pulau Moroh memberontak, namun berhasil digagalkan.

Peperangan dengan Rusia terus berlanjut dalam jangka waktu yang panjang. Perang dengan Rusia ini dimulai sejak 1768 dan berakhir pada 1774. Dalam peperangan ini, pemerintahan Utsmani telah kehilangan wilayah kekuasannya yang demikian luas dan strategis. Saat itu, telah kelihatan dengan jelas kelemahan dan keterbelakangan pada kesultanan Utsmani.

Sultan Musthafa III jatuh sakit karena tenggelam dalam kesedihan saat berperang dengan Rusia. Dia wafat pada saat usia berusia 57 tahun. Musthafa III meninggal pada 1187 H/1774 M. Kedudukannya digantikan oleh saudaranya, Abdul Hamid I.



Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni